Arab Melayu adalah aksara utama dalam penyebaran bahasa Melayu ke
seluruh wilayah nusantara; yang penggunaannya dimulai seiring dengan kedatangan
agama Islam ke kepulauan Melayu ini. Disebut Arab Melayu, karena merupakan
huruf-huruf Arab yang sengaja digubah untuk mewakili bunyi bahasa Melayu. Seni
penulisan ini juga dikenal dengan nama Jawi, Jawoe, Kawung; dan untuk tulisan
Arab Melayu yang berbahasa Jawa disebut Pegon. Walau apapun sebutannya pada
tiap wilayah, dalam tulisan blog ini hanya akan disebut dengan nama Arab Melayu
saja.
Datuk Sayyid Alwi al-Haddad, sejarahwan Malaysia, proses pengenalan
dan/atau usaha penggubahan lambang huruf Arab untuk mewakili bunyi bahasa
Melayu sudah berlangsung sejak zaman Khalifah Utsman bin Affan (644-656 M),
sebab pada masa itu agama Islam sudah mulai bertapak di daerah-daerah pantai
kepulauan Melayu. Komunikasi antar masyarakat awam hingga kalangan istana pada
saat itu sudah berlangsung dengan lambang huruf Melayu. Namun penggunaan Arab
Melayu secara luas disepakati bermula pada abad 12 Masehi, seiring dengan
penyebaran agama Islam ke wilayah nusantara.
Penggunaan lambang huruf Arab Melayu tidak hanya terjadi antar sesama
bangsa Melayu, namun juga dengan bangsa lainnya, khususnya Eropah. Penulisan
Arab Melayu antar bangsa ini meliputi perjanjian dagang, surat-menyurat antar
raja-raja Melayu dengan pemerintah Eropa, dan lain sebagainya. Arab Melayu
tidak hanya didominasi oleh Islam. Banyak produk obat dan makanan asal Eropah
dan Cina yang juga menggunakan Arab Melayu dalam kemasan produknya. Bahkan pada
tahun 1890-an, Abdullah Munsyi, Malaysia, dipercayakan pemerintah Hindia
Belanda untuk menulis Al-Kitab (Injil) yang bertulisan Arab Melayu untuk
kepentingan Misionaris Eropa. Injil ini masih tersimpan dalam museum di
Banjarmasin.
Keberadaan Arab Melayu yang terekam ke dalam berbagai bahan bacaan sejak
semula digunakan hingga menjelang akhir abad ke-20 Masehi, masih terasa denyut
perkembangannya. Bahkan Arab Melayu lah yang mempersatukan nusantara dalam satu
bahasa serta mendominasi bahasa persuratan dan percetakan di seluruh nusantara.
Perkembangan tulisan Arab Melayu selanjutnya tidak terlepas dari
perkembangan bahasa Melayu itu sendiri. Ulama-Ulama Islam di nusantara, banyak
yang telah menerjemahkan berbagai kitab berbahasa Arab ke dalam bahasa Melayu
dengan tulisan Arab Melayu. Sastrawan dan pujangga Melayu juga turut serta
membubuhkan karyanya dengan Arab Melayu hingga menyebar ke seluruh kawasan Asia
Tenggara. Puncak kejayaan Arab Melayu adalah dengan ditulisnya Kamus Arab –
Melayu oleh Syekh Muhammad Idris al-Marbawi; (Kamus al-Marbawi). Kemudian
diikuti oleh penulisan kitab yang menetapkan kaidah tulis-baca Jawi (Arab
Melayu) oleh Zainal Abidin bin Ahmad (Pandita Melayu). Kitab kaidah tulis-baca
Jawi yang disusun Zainal Abidin bin Ahmad (Za’ba) ini dikenal dengan Kaidah
Za’ba.
1. Upaya Menghilangkan Arab Melayu
Masalah yang terjadi mengenai Arab Melayu dari dahulu hingga sekarang
adalah ketidak-beraturannya bentuk penulisan pada kata. Jangankan oleh
penulis yang berbeda, bahkan dari penulis yang sama, pada buku yang sama dan di
lembar halaman yang sama pun kasus itu tetap saja terjadi.
Contohnya di dalam surat Raja Ali Haji yang ditujukan pada Gubernur Belanda
waktu itu; di bahagian atas ditulis (كڤاد) untuk ‘kepada’; namun pada bagian
lain ditulis dengan (كڤـد). Hal yang sama juga terjadi pada Babul Qawa’id
cetakan Kerajaan Siak tahun 1891. Pada halaman awal akan kita temukan tulisan (تعلوق) untuk
‘takluk’’; namun pada halaman lain akan kita temukan (تعلؤ). Artinya,
konsistensi penulisan lambang bunyi huruf Arab Melayu belum baku di alam Melayu.
Kasus inilah yang dijadikan alasan utama oleh orientalis dan komunis yang
ada di nusantara dengan mengatakan bahwa Arab Melayu tak layak untuk menjadi
tulisan bangsa Melayu karena penulisannya tidak pernah konsisten hingga kerap
kali terjadinya salah baca yang dapat menimbulkan salah persepsi.
Sejak pendapat itu keluar, dimulai lah upaya kaum anti Islam untuk mengikis
perusahaan cetak dan penerbitan buku Arab Melayu. Namun upaya yang dilakukan
sejak masa penjajahan Eropa hingga Jepang, tak mengikis Arab Melayu, meski pun
banyak orang yang mempelajari bahasa dan aksara mereka. Hal ini disebabkan
nilai patriotisme yang dikandung Arab Melayu, sehingga penggunaannya dianggap
perlawanan terhadap penjajah. Bahkan Arab Melayu menjadi standarisasi produk
obat dan makanan buatan Cina; yang jika tidak dibubuhi dengan Arab Melayu,
rasanya tak layak untuk digunakan oleh bangsa Melayu.
2. Kemunduran Arab Melayu
Revolusi Turki pada tahun 1924 yang diusung Kamal Pasha Attaturk, terjadi
karena dorongan negara-negara Eropa yang hendak merebut kembali Konstantinopel
dari Turki Utsmani yang pemerintah dan pasukan perangnya telah mulai lemah.
Kenyataan ini membuat jiwa patriotisme Kamal Pasha Attaturk terpanggil dan
mendorong dirinya untuk membela negara.
Namun seiring perjalanan masa, gerakan ini merembes pada hal berbau SARA.
Segala hal yang berbau Arab (yang dianggap sebagai simbol Islam) harus
dihilangkan; termasuk adzan yang harus dilantunkan dengan bahasa Turki. Hal ini
tidak mengherankan karena adanya boncengan serta dukungan zionis dan komunis
internasional dalam gerakannya itu. Tulisan Arab Turki pun diganti dengan huruf
latin, dengan melakukan adaptasi dan penambahan lambang pada tiap huruf.
Pengikisan simbol Keislaman oleh Kamal Pasha Attaturk tersebut menjadi
angin segar bagi Dr. Pardjono; seorang intelektual PKI; yang mendorong dan
mendukung sepenuhnya pelaksanaan Kongres Bahasa di Singapura dan Medan pada
tahun 1950-an, yang mengeluarkan resolusi agar tulisan latin menjadi tulisan
kebangsaan Melayu. Selanjutnya dibentuklah Dewan Bahasa dan Pustaka Malaysia
(DBP) yang mempelopori aksara latin di semenanjung Melayu. Sejak saat itu,
sebagian besar penerbit diharuskan bahkan wajib beralih ke tulisan latin.
Mulai 1960-an, Arab Melayu akhirnya benar-benar terpinggirkan. Setiap orang
dituntut harus mampu membaca latin. Semua kitab pelajaran pada sekolah pribumi
hingga madrasah mulai dirambah oleh tulisan latin. Ditambah lagi pada tahun
1980-an, keberadaan tulisan Arab Melayu secara nasional seakan ‘dijajah’ oleh adanya
upaya pemberantasan buta huruf. Orang-orang tua kita dinista karena tidak dapat
tulis-baca huruf latin dan dicap sebagai buta huruf, meskipun mereka mampu
tulis-baca aksara Arab Melayu. Sementara bagi mereka yang mampu tulis-baca
latin, walaupun tidak tahu tulis-baca Arab Melayu, tidak mendapat penistaan
‘buta huruf’. Akibatnya, generasi Melayu yang lahir di atas tahun 1970-an
banyak yang buta aksara Arab Melayu bahkan tidak mampu membaca al-Quran.
Masalah yang timbul kemudian, bahwa penggunaan tulisan latin malah semakin
mengikis perbendaharaan kata dalam bahasa Melayu. Banyak kata-kata dalam bahasa
Melayu yang berganti dengan kata dan istilah asing (Eropa). Bukan untuk
menambah perbendaharaan kata, melainkan hanya untuk menindas bahasa yang sudah
ada. Akhirnya pada masa kini, seorang pembicara tidak merasa cerdas kalau tidak
mengungkapkan bahasa dan istilah asing. Bahkan UUD 1945 hasil amandemen
sekarang ini telah 30% dibubuhi dengan bahasa dan istilah asing yang sangat
tidak akrab di telinga.
Jika terus dibiarkan, disinyalir 50 tahun mendatang kosa kata Melayu di
dalam bahasa Melayu tinggal 10% saja. Lalu beberapa tahun setelahnya, bahasa
Melayu pun akan punah. Hingga pada akhirnya nanti anak turunan jati Melayu akan
terpaksa harus melihat kamus terlebih dahulu untuk memahami dan menerjemahkan
“Takkan Melayu Hilang di Bumi”.
3. Kebangkitan Arab Melayu
Fenomena patriotisme Arab Melayu tidak hanya terjadi pada zaman
penjajahan. Pada tahun 1990-an di Pekanbaru, Al Azhar dkk memulai upaya mandiri
untuk menerapkan Arab Melayu pada media umum. Hal ini terinspirasi dari
pembubuhan nama jalan di Jawa yang telah menggunakan huruf Hanacaraka.
Mereka lah yang mempelopori pembuatan nama jalan dengan huruf Arab Melayu
dengan papan triplek yang diikat dengan kawat di bawah plang nama jalan yang
bertulisan latin. Melihat ini masyarakat mendukung, namun beberapa pejabat
Pemprov merasa gusar dan menilai upaya yang dilakukan Al Azhar dkk ini sebagai
langkah yang subversif.
Kebijakan Otonomi Daerah telah memberi tempat istimewa bagi aksara Arab
Melayu. Semangat untuk membangkitkannya kembali secara sadar diwujudkan di
berbagai media hingga ke sekolah-sekolah dan kantor pemerintah. Tak ubahnya di
Riau, Arab Melayu pun dijadikan sebagai Mata Pelajaran Muatan Lokal Wajib di
tingkat SD hingga SMP. Fenomena demikian tentu saja menuntut keberadaan
buku-buku pelajaran Arab Melayu dan media pendukungnya.
Ironinya, jumlah kepustakaan Arab Melayu sangat langka. Proyek yang ada
selama ini hanya terpusat pada pelestarian Arab Melayu dalam bentuk pelajaran.
Tidak ada usaha pelestariannya untuk mempopulerkan lagi Arab Melayu melalui
usaha komputerisasi teks secara lengkap.
Penggunaan Arab Melayu bukan lah suatu doktrin yang dipaksanakan. Melainkan
ialah untuk melestarikan dan mempertahankan khazanah Riau yang sebenarnya, yang
telah mempersatukan Indonesia dalam satu bahasa. Dan ia bukan legenda yang
hanya tinggal kenangan semata, melainkan ia adalah kebanggaan bangsa yang
sebenarnya.
No comments:
Post a Comment