Friday, June 22, 2012

Mengenal Arab Melayu


Arab Melayu adalah aksara utama dalam penyebaran bahasa Melayu ke seluruh wilayah nusantara; yang penggunaannya dimulai seiring dengan kedatangan agama Islam ke kepulauan Melayu ini. Disebut Arab Melayu, karena merupakan huruf-huruf Arab yang sengaja digubah untuk mewakili bunyi bahasa Melayu. Seni penulisan ini juga dikenal dengan nama Jawi, Jawoe, Kawung; dan untuk tulisan Arab Melayu yang berbahasa Jawa disebut Pegon. Walau apapun sebutannya pada tiap wilayah, dalam tulisan blog ini hanya akan disebut dengan nama Arab Melayu saja.


Datuk Sayyid Alwi al-Haddad, sejarahwan Malaysia, proses pengenalan dan/atau usaha penggubahan lambang huruf Arab untuk mewakili bunyi bahasa Melayu sudah berlangsung sejak zaman Khalifah Utsman bin Affan (644-656 M), sebab pada masa itu agama Islam sudah mulai bertapak di daerah-daerah pantai kepulauan Melayu. Komunikasi antar masyarakat awam hingga kalangan istana pada saat itu sudah berlangsung dengan lambang huruf Melayu. Namun penggunaan Arab Melayu secara luas disepakati bermula pada abad 12 Masehi, seiring dengan penyebaran agama Islam ke wilayah nusantara.


Penggunaan lambang huruf Arab Melayu tidak hanya terjadi antar sesama bangsa Melayu, namun juga dengan bangsa lainnya, khususnya Eropah. Penulisan Arab Melayu antar bangsa ini meliputi perjanjian dagang, surat-menyurat antar raja-raja Melayu dengan pemerintah Eropa, dan lain sebagainya. Arab Melayu tidak hanya didominasi oleh Islam. Banyak produk obat dan makanan asal Eropah dan Cina yang juga menggunakan Arab Melayu dalam kemasan produknya. Bahkan pada tahun 1890-an, Abdullah Munsyi, Malaysia, dipercayakan pemerintah Hindia Belanda untuk menulis Al-Kitab (Injil) yang bertulisan Arab Melayu untuk kepentingan Misionaris Eropa. Injil ini masih tersimpan dalam museum di Banjarmasin.

Keberadaan Arab Melayu yang terekam ke dalam berbagai bahan bacaan sejak semula digunakan hingga menjelang akhir abad ke-20 Masehi, masih terasa denyut perkembangannya. Bahkan Arab Melayu lah yang mempersatukan nusantara dalam satu bahasa serta mendominasi bahasa persuratan dan percetakan di seluruh nusantara.

Perkembangan tulisan Arab Melayu selanjutnya tidak terlepas dari perkembangan bahasa Melayu itu sendiri. Ulama-Ulama Islam di nusantara, banyak yang telah menerjemahkan berbagai kitab berbahasa Arab ke dalam bahasa Melayu dengan tulisan Arab Melayu. Sastrawan dan pujangga Melayu juga turut serta membubuhkan karyanya dengan Arab Melayu hingga menyebar ke seluruh kawasan Asia Tenggara. Puncak kejayaan Arab Melayu adalah dengan ditulisnya Kamus Arab – Melayu oleh Syekh Muhammad Idris al-Marbawi; (Kamus al-Marbawi). Kemudian diikuti oleh penulisan kitab yang menetapkan kaidah tulis-baca Jawi (Arab Melayu) oleh Zainal Abidin bin Ahmad (Pandita Melayu). Kitab kaidah tulis-baca Jawi yang disusun Zainal Abidin bin Ahmad (Za’ba) ini dikenal dengan Kaidah Za’ba.


1. Upaya Menghilangkan Arab Melayu

Masalah yang terjadi mengenai Arab Melayu dari dahulu hingga sekarang adalah ketidak-beraturannya bentuk penulisan  pada kata. Jangankan oleh penulis yang berbeda, bahkan dari penulis yang sama, pada buku yang sama dan di lembar halaman yang sama pun kasus itu tetap saja terjadi.

Contohnya di dalam surat Raja Ali Haji yang ditujukan pada Gubernur Belanda waktu itu; di bahagian atas ditulis (كڤاد) untuk ‘kepada’; namun pada bagian lain ditulis dengan (كڤـد). Hal yang sama juga terjadi pada Babul Qawa’id cetakan Kerajaan Siak tahun 1891. Pada halaman awal akan kita temukan tulisan (تعلوق) untuk ‘takluk’’; namun pada halaman lain akan kita temukan (تعلؤ). Artinya, konsistensi penulisan lambang bunyi huruf Arab Melayu belum baku di alam Melayu.

Kasus inilah yang dijadikan alasan utama oleh orientalis dan komunis yang ada di nusantara dengan mengatakan bahwa Arab Melayu tak layak untuk menjadi tulisan bangsa Melayu karena penulisannya tidak pernah konsisten hingga kerap kali terjadinya salah baca yang dapat menimbulkan salah persepsi.

Sejak pendapat itu keluar, dimulai lah upaya kaum anti Islam untuk mengikis perusahaan cetak dan penerbitan buku Arab Melayu. Namun upaya yang dilakukan sejak masa penjajahan Eropa hingga Jepang, tak mengikis Arab Melayu, meski pun banyak orang yang mempelajari bahasa dan aksara mereka. Hal ini disebabkan nilai patriotisme yang dikandung Arab Melayu, sehingga penggunaannya dianggap perlawanan terhadap penjajah. Bahkan Arab Melayu menjadi standarisasi produk obat dan makanan buatan Cina; yang jika tidak dibubuhi dengan Arab Melayu, rasanya tak layak untuk digunakan oleh bangsa Melayu.


2. Kemunduran Arab Melayu

Revolusi Turki pada tahun 1924 yang diusung Kamal Pasha Attaturk, terjadi karena dorongan negara-negara Eropa yang hendak merebut kembali Konstantinopel dari Turki Utsmani yang pemerintah dan pasukan perangnya telah mulai lemah. Kenyataan ini membuat jiwa patriotisme Kamal Pasha Attaturk terpanggil dan mendorong dirinya untuk membela negara.

Namun seiring perjalanan masa, gerakan ini merembes pada hal berbau SARA. Segala hal yang berbau Arab (yang dianggap sebagai simbol Islam) harus dihilangkan; termasuk adzan yang harus dilantunkan dengan bahasa Turki. Hal ini tidak mengherankan karena adanya boncengan serta dukungan zionis dan komunis internasional dalam gerakannya itu. Tulisan Arab Turki pun diganti dengan huruf latin, dengan melakukan adaptasi dan penambahan lambang pada tiap huruf.

Pengikisan simbol Keislaman oleh Kamal Pasha Attaturk tersebut menjadi angin segar bagi Dr. Pardjono; seorang intelektual PKI; yang mendorong dan mendukung sepenuhnya pelaksanaan Kongres Bahasa di Singapura dan Medan pada tahun 1950-an, yang mengeluarkan resolusi agar tulisan latin menjadi tulisan kebangsaan Melayu. Selanjutnya dibentuklah Dewan Bahasa dan Pustaka Malaysia (DBP) yang mempelopori aksara latin di semenanjung Melayu. Sejak saat itu, sebagian besar penerbit diharuskan bahkan wajib  beralih ke tulisan latin.

Mulai 1960-an, Arab Melayu akhirnya benar-benar terpinggirkan. Setiap orang dituntut harus mampu membaca latin. Semua kitab pelajaran pada sekolah pribumi hingga madrasah mulai dirambah oleh tulisan latin. Ditambah lagi pada tahun 1980-an, keberadaan tulisan Arab Melayu secara nasional seakan ‘dijajah’ oleh adanya upaya pemberantasan buta huruf. Orang-orang tua kita dinista karena tidak dapat tulis-baca huruf latin dan dicap sebagai buta huruf, meskipun mereka mampu tulis-baca aksara Arab Melayu. Sementara bagi mereka yang mampu tulis-baca latin, walaupun tidak tahu tulis-baca Arab Melayu, tidak mendapat penistaan ‘buta huruf’. Akibatnya, generasi Melayu yang lahir di atas tahun 1970-an banyak yang buta aksara Arab Melayu bahkan tidak mampu membaca al-Quran.

Masalah yang timbul kemudian, bahwa penggunaan tulisan latin malah semakin mengikis perbendaharaan kata dalam bahasa Melayu. Banyak kata-kata dalam bahasa Melayu yang berganti dengan kata dan istilah asing (Eropa). Bukan untuk menambah perbendaharaan kata, melainkan hanya untuk menindas bahasa yang sudah ada. Akhirnya pada masa kini, seorang pembicara tidak merasa cerdas kalau tidak mengungkapkan bahasa dan istilah asing. Bahkan UUD 1945 hasil amandemen sekarang ini telah 30% dibubuhi dengan bahasa dan istilah asing yang sangat tidak akrab di telinga.

Jika terus dibiarkan, disinyalir 50 tahun mendatang kosa kata Melayu di dalam bahasa Melayu tinggal 10% saja. Lalu beberapa tahun setelahnya, bahasa Melayu pun akan punah. Hingga pada akhirnya nanti anak turunan jati Melayu akan terpaksa harus melihat kamus terlebih dahulu untuk memahami dan menerjemahkan “Takkan Melayu Hilang di Bumi”.


3. Kebangkitan Arab Melayu

Fenomena patriotisme Arab Melayu tidak hanya  terjadi pada zaman penjajahan. Pada tahun 1990-an di Pekanbaru, Al Azhar dkk memulai upaya mandiri untuk menerapkan Arab Melayu pada media umum. Hal ini terinspirasi dari pembubuhan nama jalan di Jawa yang telah menggunakan huruf Hanacaraka.

Mereka lah yang mempelopori pembuatan nama jalan dengan huruf Arab Melayu dengan papan triplek yang diikat dengan kawat di bawah plang nama jalan yang bertulisan latin. Melihat ini masyarakat mendukung, namun beberapa pejabat Pemprov merasa gusar dan menilai upaya yang dilakukan Al Azhar dkk ini sebagai langkah yang subversif.

Kebijakan Otonomi Daerah telah memberi tempat istimewa bagi aksara Arab Melayu. Semangat untuk membangkitkannya kembali secara sadar diwujudkan di berbagai media hingga ke sekolah-sekolah dan kantor pemerintah. Tak ubahnya di Riau, Arab Melayu pun dijadikan sebagai Mata Pelajaran Muatan Lokal Wajib di tingkat SD hingga SMP. Fenomena demikian tentu saja menuntut keberadaan buku-buku pelajaran Arab Melayu dan media pendukungnya.

Ironinya, jumlah kepustakaan Arab Melayu sangat langka. Proyek yang ada selama ini hanya terpusat pada pelestarian Arab Melayu dalam bentuk pelajaran. Tidak ada usaha pelestariannya untuk mempopulerkan lagi Arab Melayu melalui usaha komputerisasi teks secara lengkap.

Penggunaan Arab Melayu bukan lah suatu doktrin yang dipaksanakan. Melainkan ialah untuk melestarikan dan mempertahankan khazanah Riau yang sebenarnya, yang telah mempersatukan Indonesia dalam satu bahasa. Dan ia bukan legenda yang hanya tinggal kenangan semata, melainkan ia adalah kebanggaan bangsa yang sebenarnya.

No comments:

Post a Comment