Masjid
seharusnya menjadi tempat bersatunya berbagai macam ragam budaya, manusia dan
kepentingan untuk bersama-sama beribadah menundukkan kepala kehadirat Alloh
SWT. Namun bila masjid Cuma dijadikan sebagai ajang untuk menunjukkan ego diri
maupun kepentingan golongan maka akan timbul fitnah dan perpecahan di kalangan
masyarakat dan dampaknya sangat luas sekali.
Segala hal
yang berkaitan dengan masjid bila itu
bersifat besar seperti dalam hal pembangunan masjid atau perluasan atau
penambahan sarana masjid seharusnya dilakukan dengan musyawarah mengajak semua
lapisan masyarakat untuk berkumpul di masjid. Dalam musyawarah itulah kita bisa
mengetahui apa keinginan sebagian besar masyarakat terhadap masjid kita, tapi
dalam aplikasinya sering sekali kita tidak
menghiraukan keinginan masyarakat dan justru terkadang kita menganggap
masyarakat masih bodoh tidak tahu apa-apa. Yang kita utamakan malah apa
keinginan diri sendiri atau golongan apalagi kalau sudah merasa diri sebagai
pengurus/panitia yang membidangi masalah masjid(walaupun jarang sholat
berjamaah di masjid) kita akan merasa seperti punya kekuasaan(raja kecil dalam
masjid.:D)
Kejadian
seperti itulah yang terjadi pada pembangunan tempat wudhu baru yang berlokasi
di sebelah utara masjid tepatnya ujung kiri bagian timur Masjid At Takrim
Gapuk. Pembangunan tempat wudhu tersebut menjadi pro kontra dalam masyarakat
Gapuk. Keinginan sebagian besar masyarakat Gapuk adalah ingin memperbaiki Kubah
Masjid yang sudah rusak, bocor dan sudah miring. Keinginan masyarakat memang
masuk akal karena bila di lihat dari luar akan kelihatan kubah masjid agak
miring dan bila musim hujan apalagi hujannya lebat maka air hujan akan
menggenangi ruangan masjid terutama bagian shaf depan.
Melihat
keadaan masjid yang seperti itulah yang menyebabkan masyarakat Gapuk menjadi
prihatin dan memikirkan bagaimana caranya untuk memperbaiki masjid. Salah satu
cara yang dilakukan oleh masyarakat Gapuk dalam mencari dana adalah dengan cara
mengadakan pawai/arak-arakan setiap selesai Maulid Nabi Muhammad SAW dan dana
yang terkumpul selama acara pawai tersebut bisa sampai 25 jutaan. Namun sungguh
sangat di sayangkan, jerih payah dari masyarakat tidak di hargai oleh sebagian
kecil masyarkat yang sudah “merasa memiliki kekuasaan” di masyarakat. Mereka
justru membangun bangunan tempat wudhu yang belum sangat mendesak sekali, cukup
dengan segelintir orang bermusyawarah di luar masjid maka mereka memutuskan apa
yang akan di bangun. Setelah selesai dari musyawarah di luar masjid maka dicoba
didesign agar bisa kelihatan seperti bermusyawarah beneran dengan cara mengajak
masyarakat untuk bermusyawarah di masjid. Dan yang dibahas adalah apa yang
sudah di putuskan terlebih dahulu. Musyawarah ini mirip seperti acara Opera Van
Java(OVJ) aja. Lucunya bahan bangunan sudah dibeli dulu sebelum musyawarah di
mulai dan pengurus pembangunan tempat wudhu yang dibentuk itu seperti dagelan
belaka.
Belum
sebulan pembangunan tempat wuhdu tersebut sudah terjadi pergantian ketua panitia pembangunan masjid. Ketua yang
di pilih mengundurkan diri dengan alasan setiap meminta dana kepada pengurus
masjid selalu diberikan sedikit demi sedikit seperti orang yang tidak
mempercayai dia sebagai ketua panitia. Keinginan ketua panitia ingin diberikan
dana sesuai dengan anggaran agar panitia sendiri bisa mengatur langsung
keuangan agar pembanguna berjalan dengan lancar tapi dari pihak pengurus masjid
justru beralasan lain, dana yang dikucur sedikit demi sedikit karena dalam setiap
penarikan uang dari bank tidak bisa langsung mengambil banyak karena
menggunakan ATM. Alasan inilah yang di anggap mengada-ada, kalau mau ambil dana
besar dari bank bisa langsung menggunakan buku Tabungan tidak perlu pakai ATM
segala.
Sekarang
ini pembangunan tempat wudhu itu berjalan tanpa ada ketua panitia pembangungan
dan mungkin yang menjadi ketua panitianya sekarang JIN bin TUYUL atau apalah….
Pembangunan
tempat wudhu tetap berjalan walaupun tanpa ada ketua panitia dan peran serta
seluruh masyarakat Gapuk, yang merasa punya kekuasaan mungkin mengikuti sebuah
ungkapan “anjing menggonggong kafilah tetap berlalu”. Begitulah lakon sinetron
yang selalu di pelihara oleh masyarakat wabil khusus yang sudah merasa memiliki
kekuasaan di masyarakat Gapuk. Kapankah para generasi yang yang seperti ini
tersadar dan bisa menunjukkan pribadi yang bisa menghargai keinginan masyakat
banyak dan bisa melakukan musyawarah dengan mufakat setiap pembangunan
masjid??? Walloohu a’lam bissawaab…..
No comments:
Post a Comment