Dasan Agung
yang terletak di tengah-tengah kota Mataram merupakan “Betawinya” Kota Mataram
karena disana masih terpeliharan tradisi nenek moyang hingga sekarang. walaupun
posisinya yang strategis berada di tengah kota, namun tidak menyebabkan
masyarakatnya serta merta melupakan tradisi yang sudah turun temurun itu. Bila
tradisi yang terpelihara sesuai dengan norma agam Islam maka itu sangat bagus
dan perlu di pelihara tapi bila menyalahi norma agama Islam justru tradisi yang
jelek itu yang harus di hilangkan.
Mengenai
tradisi yang terperlihara sampai sekarang adalah berupa Maulid Nabi Muhammad
SAW yang di warnai dengan perbuatan yang berlawanan dengan norma agama berupa
mabuk-mabukan sewaktu mengiringi pereje(kuda-kudaan yang dibopong oleh 4 pemuda
dan di atasnya ada anak kecil yang akan disunat duduk) inilah yang menyebabkan
Kelurahan Dasan Agung terkenal. Tidak hanya para pemuda yang mabuk-mabukan tapi
anak kecil yang masih sekolah di tingkat SD pun mengikuti para pemuda untuk
mabuk-mabukan. Hal ini sering timbul pertanyaan dari masyarakat di luar Dasan
Agung, apakah orang tua anak sekolah tersebut tidak memarahi anaknya?? Dan
bagaimana peran Tokoh Masyarakat dan Tokoh Agama dalam kejadian mabuk-mabukan
waktu peringatan Maulid Nabi?
Dengan
ungkapan yang sudah umum “SEKALI SETAHUN…” setiap perayaan maulid Nabi, sebagian
orang tua akan cuek melihat kelakuan anaknya dan malah orang tua tersebut yang
menyuruh dan mendukung anaknya untuk berbuat seperti itu. Hal ini bisa dilihat
dengan semakin banyaknya anak-anak kecil yang menyemir rambutnya dengan warna
warni mulai dari yang harganya murah ampe yang mahal, mereka ikut bergoyang ria
di jalanan sambil mengiringi pereje
(kuda-kudaan), mulai mencoba merokok, mencoba minum-minuman keras(minum Tuak)
plus libur sholat 5 waktu. NA’UDZUBILLAAHI
MINJALIK.
Pernah dua
kali menurut penulis ketahui para tokoh agama dan tokoh masyarakat bersepakat
dalam musyawarah di masjid untuk meniadakan pereje
tersebut namun setelah keluar dari masjid, tokoh agama dan masyarakat yang
semula mendukung ternyata banyak yang
tidak mengikuti hasil kesepakatan bersama. Tokoh agama yang di komandoi oleh
penghulu waktu itu justru takut untuk mendukung meniadakan pereje tersebut, alasannya
karena takut ancaman dari sebagian kecil masyarakat yang tidak akan menaikkan
DULANG DI MASJID jika pereje tersebut di tiadakan.
Sedangkan tokoh
masyarakat yang konsekuen mendukung pereje di tiadakan dalam peringatan Maulid
Nabi, menjadi bahan gunjingan dan ejekan. Malah yang lebih jahilnya lagi di
depan rumah tokoh masyarakat yang konsekuen itu di tumpahi minuman tuak yang
memabukkan tersebut dan pernah di rumah penulis sendiri ada anak muda yang
mabuk yang sengaja masuk untuk memancing orang tua penulis. Untung keburu di
ajak keluar oleh temannya waktu itu.
Kini tokoh
agama dan masyarakat yang ada sudah tidak bisa “mengaum” lagi dan tidak ada lagi
yang keras menolak pereje yang di iringi dengan mabuk-mabukan. Hal ini di
sebabkan karena :
- Tokoh agama dan masyarakat yang keras tidak setuju pereje di adakan setiap perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW telah meninggal dunia.
- Tokoh agama dan masyarakat sekarang kurang di dengar omongannya karena kurang tegas dalam mengambil sikap.
- Sebagian tokoh masyarakat yang dulu setuju pereje diadakan sekarang menjadi tokoh masyarakat dan tokoh agama.
Awal mula
adanya pereje terutama di lingkungan Gapuk yang penulis ketahui dan dengar dari
orang tua, keluarga dan masyarakat bisa di kategorikan menjadi:
1. Pereje tahap awal. Pada tahap ini
masyarakat yang akan menyunatkan anaknya membuatkan pereje berupa banguan yang
bernuansa islami seperti masjid, gapura dll. Iringan musiknya pun masih
bernuansa islami seperti rudat, kasidah dll.
2. Pereje tahap kedua. Pada tahap ini
masyarakat sudah mulai malas membuatkan anaknya pereje yang bernuansa islami
dan lebih senang menyewa yang sudah jadi seperti kuda-kudaan yang menyerupai
patung. Speaker merk TOA pada tahap ini dah menjadi booming tuk digunakan dan
alunan musiknya pun dah mulai diganti yang semula musik islami menjadi musik gendang beleq yang menyerupai musik
orang Hindu.
Dengan masuknya musik gendang
beleq dalam pereje tersebut, otomatis nuansa keislaman pada pereje yang di
adakan menjadi hilang dan berubah menjadi nuansa kehinduaan. Hal ini mengungkit
memori para tokoh agama dan masyarakat akan nasib orang tua pada jaman
penjajahan kerajaan hindu di dasan agung. Pada tahap ini juga masyarakat yang masih
lemah agamanya mulai mengkonsumsi minuman keras (minum Tuak).
3. Pereje tahap ketiga. Pada tahap
ketiga atau sekarang ini pereje tetap menggunakan kuda-kudaan dan musik yang
mengiringi pereje pun mengalami perubahan dratis. Yang semula musiknya
menggunakan gendang beleq telah diganti dengan musik dangdut cabul, pop, rock
dll. Sound system yang digunakan untuk mengiringi pereje mendekati sound system
pada diskotik. Sehingga banyak masyarakat di luar dasan Agung mengatakan
diskotik berjalan bila ada pereje.
Pada tahap ini ini juga sudah mulai adanya pengkaderan bagi anak-anak pra
sekolah sampe SMA. Hal ini bisa dilihat dengan keterlibatan anak-anak pra
sekolah ketika mengiringi pereje di jalanan. Anak-anak ini otomatis akan
meliburkan diri dari kegiatan sekolah dan yang sudah baligh pun otomatis akan
meliburkan diri dari kegiatan sekolah dan sholat.
Tradisi yang
sudah mendarah daging ini tidak bisa
langsung di hapuskan karena banyak faktor yang menjadi penyebab mengapa
masyarkat masih kuat mempertahankan tradisi ini terutama dengan adanya pereje
setiap perayaan maulid Nabi Muhammad SAW. Belajar dari pengalaman yang
sudah-sudah, bila akan menghentikan pereje di lingkungan Gapuk maka sebagian masyarakat
mengancam tidak akan menaikkan dulang ke masjid, orang tua semakin banyak yang
sengaja menyewa pereje sebagai bentuk perlawanan terhadap keputusan dari tokoh agama dan masyarakat dan orang-orang yang
mabuk pada waktu pereje di arak baik pada waktu malam maupun pagi semakin
banyak malah sampai mengundang dari luar lingkungan Gapuk untuk ikut
mabuk-mabukan pada waktu itu. Maka para tokoh agama dan masyarakat sekarang ini
memilih menggunakan alternatif terakhir dalam menyikapi tradisi mabuk pada
perayaan Maulid Nabi dengan berdiam diri. Tidak melarang dan tidak
menganjurkan. Harapan dan do’a dihati para tokoh agama dan masyarakat agar
orang yang sekarang mabuk-mabukan yang menghina hari kelahiran Nabi Muhammad
SAW bisa sadar sendiri atau ajal yang menjemput mereka biar berkurang yang
menghina kelahiran Nabi Muhammada SAW.
Semoga suatu
saat nanti masyarakat Dasan Agung bisa total memperingati Maulid Nabi Muhammad
SAW tanpa ada yang melanggar perintah agama. aamiin
foto yang laen bisa dilihat di http://papuqfotografi.blogspot.com/2012/02/foto-mabuk-mabukan-mengiringi-maulid-di.html
anak pra sekolah pun ikut |
anak kecil pun ikut bgoyang |
yg remaja pun ikut goyang |
# # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # #
Catatan:
* Kelurahan Dasan Agung terdiri dari Lingkungan Gapuk, Pejeruk, Perigi,
Bawak Bagik, Otak Desa, Muhajirin, Darul Hikmah, Arong-arong Timur, Arong-arong Barat.
* Yang masih mengadakan pereje tiap maulid adalah Lingkungan Gapuk,
Lingkungan Arong-arong Timur dan Otak Desa.
*Biaya yang di keluarkan untuk Mulud:
a.
Biaya menyewa pereje =
sekitar 750.000,
b.
Biaya sound system, genset dan mobil = 1.500.000
c.
Biaya beli Tuak dll =sekitar
500.000
d.
Biaya mulud dirumah =
1.750.000
Total yang di keluarkan selama
mulud kurang lebih sekitar 4.000.000 (empat juta rupiah)
No comments:
Post a Comment