Sunday, February 26, 2012

MABUK-MABUKAN MENGIRINGI MAULID DI KAMPUNGKU


Dasan Agung yang terletak di tengah-tengah kota Mataram merupakan “Betawinya” Kota Mataram karena disana masih terpeliharan tradisi nenek moyang hingga sekarang. walaupun posisinya yang strategis berada di tengah kota, namun tidak menyebabkan masyarakatnya serta merta melupakan tradisi yang sudah turun temurun itu. Bila tradisi yang terpelihara sesuai dengan norma agam Islam maka itu sangat bagus dan perlu di pelihara tapi bila menyalahi norma agama Islam justru tradisi yang jelek itu yang harus di hilangkan.


Mengenai tradisi yang terperlihara sampai sekarang adalah berupa Maulid Nabi Muhammad SAW yang di warnai dengan perbuatan yang berlawanan dengan norma agama berupa mabuk-mabukan sewaktu mengiringi pereje(kuda-kudaan yang dibopong oleh 4 pemuda dan di atasnya ada anak kecil yang akan disunat duduk) inilah yang menyebabkan Kelurahan Dasan Agung terkenal. Tidak hanya para pemuda yang mabuk-mabukan tapi anak kecil yang masih sekolah di tingkat SD pun mengikuti para pemuda untuk mabuk-mabukan. Hal ini sering timbul pertanyaan dari masyarakat di luar Dasan Agung, apakah orang tua anak sekolah tersebut tidak memarahi anaknya?? Dan bagaimana peran Tokoh Masyarakat dan Tokoh Agama dalam kejadian mabuk-mabukan waktu peringatan Maulid Nabi?

Dengan ungkapan yang sudah umum “SEKALI SETAHUN…” setiap perayaan maulid Nabi, sebagian  orang tua akan cuek melihat kelakuan anaknya dan malah orang tua tersebut yang menyuruh dan mendukung anaknya untuk berbuat seperti itu. Hal ini bisa dilihat dengan semakin banyaknya anak-anak kecil yang menyemir rambutnya dengan warna warni mulai dari yang harganya murah ampe yang mahal, mereka ikut bergoyang ria di jalanan sambil mengiringi pereje (kuda-kudaan), mulai mencoba merokok, mencoba minum-minuman keras(minum Tuak) plus libur sholat 5 waktu. NA’UDZUBILLAAHI MINJALIK.

Pernah dua kali menurut penulis ketahui para tokoh agama dan tokoh masyarakat bersepakat dalam musyawarah di masjid untuk meniadakan pereje tersebut namun setelah keluar dari masjid, tokoh agama dan masyarakat yang semula mendukung  ternyata banyak yang tidak mengikuti hasil kesepakatan bersama. Tokoh agama yang di komandoi oleh penghulu waktu itu justru takut untuk mendukung meniadakan pereje tersebut, alasannya karena takut  ancaman dari sebagian kecil masyarakat yang tidak akan menaikkan DULANG DI MASJID jika pereje tersebut di tiadakan.

Sedangkan tokoh masyarakat yang konsekuen mendukung pereje di tiadakan dalam peringatan Maulid Nabi, menjadi bahan gunjingan dan ejekan. Malah yang lebih jahilnya lagi di depan rumah tokoh masyarakat yang konsekuen itu di tumpahi minuman tuak yang memabukkan tersebut dan pernah di rumah penulis sendiri ada anak muda yang mabuk yang sengaja masuk untuk memancing orang tua penulis. Untung keburu di ajak keluar oleh temannya waktu itu.

Kini tokoh agama dan masyarakat yang ada sudah tidak bisa “mengaum” lagi dan tidak ada lagi yang keras menolak pereje yang di iringi dengan mabuk-mabukan. Hal ini di sebabkan karena :
  1.  Tokoh agama dan masyarakat yang keras tidak setuju pereje di adakan setiap perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW telah meninggal dunia.
  2. Tokoh agama dan masyarakat sekarang kurang di dengar omongannya karena kurang tegas dalam mengambil sikap.
  3. Sebagian tokoh masyarakat yang dulu setuju pereje diadakan sekarang menjadi tokoh masyarakat dan tokoh agama.

Awal mula adanya pereje terutama di lingkungan Gapuk yang penulis ketahui dan dengar dari orang tua, keluarga dan masyarakat bisa di kategorikan menjadi:
1.      Pereje tahap awal. Pada tahap ini masyarakat yang akan menyunatkan anaknya membuatkan pereje berupa banguan yang bernuansa islami seperti masjid, gapura dll. Iringan musiknya pun masih bernuansa islami seperti rudat, kasidah dll.
2.      Pereje tahap kedua. Pada tahap ini masyarakat sudah mulai malas membuatkan anaknya pereje yang bernuansa islami dan lebih senang menyewa yang sudah jadi seperti kuda-kudaan yang menyerupai patung. Speaker merk TOA pada tahap ini dah menjadi booming tuk digunakan dan alunan musiknya pun dah mulai diganti yang semula musik islami menjadi musik gendang beleq yang menyerupai musik orang Hindu.

Dengan masuknya musik gendang beleq dalam pereje tersebut, otomatis nuansa keislaman pada pereje yang di adakan menjadi hilang dan berubah menjadi nuansa kehinduaan. Hal ini mengungkit memori para tokoh agama dan masyarakat akan nasib orang tua pada jaman penjajahan kerajaan hindu di dasan agung. Pada tahap ini juga masyarakat yang masih lemah agamanya mulai mengkonsumsi minuman keras (minum Tuak).
3.      Pereje tahap ketiga. Pada tahap ketiga atau sekarang ini pereje tetap menggunakan kuda-kudaan dan musik yang mengiringi pereje pun mengalami perubahan dratis. Yang semula musiknya menggunakan gendang beleq telah diganti dengan musik dangdut cabul, pop, rock dll. Sound system yang digunakan untuk mengiringi pereje mendekati sound system pada diskotik. Sehingga banyak masyarakat di luar dasan Agung mengatakan diskotik berjalan bila ada pereje.
Pada tahap ini ini juga sudah mulai adanya pengkaderan bagi anak-anak pra sekolah sampe SMA. Hal ini bisa dilihat dengan keterlibatan anak-anak pra sekolah ketika mengiringi pereje di jalanan. Anak-anak ini otomatis akan meliburkan diri dari kegiatan sekolah dan yang sudah baligh pun otomatis akan meliburkan diri dari kegiatan sekolah dan sholat.

Tradisi yang sudah mendarah daging ini  tidak bisa langsung di hapuskan karena banyak faktor yang menjadi penyebab mengapa masyarkat masih kuat mempertahankan tradisi ini terutama dengan adanya pereje setiap perayaan maulid Nabi Muhammad SAW. Belajar dari pengalaman yang sudah-sudah, bila akan menghentikan pereje di lingkungan Gapuk maka sebagian masyarakat mengancam tidak akan menaikkan dulang ke masjid, orang tua semakin banyak yang sengaja menyewa pereje sebagai bentuk perlawanan terhadap keputusan dari tokoh  agama dan masyarakat dan orang-orang yang mabuk pada waktu pereje di arak baik pada waktu malam maupun pagi semakin banyak malah sampai mengundang dari luar lingkungan Gapuk untuk ikut mabuk-mabukan pada waktu itu. Maka para tokoh agama dan masyarakat sekarang ini memilih menggunakan alternatif terakhir dalam menyikapi tradisi mabuk pada perayaan Maulid Nabi dengan berdiam diri. Tidak melarang dan tidak menganjurkan. Harapan dan do’a dihati para tokoh agama dan masyarakat agar orang yang sekarang mabuk-mabukan yang menghina hari kelahiran Nabi Muhammad SAW bisa sadar sendiri atau ajal yang menjemput mereka biar berkurang yang menghina kelahiran Nabi Muhammada SAW. 
Semoga suatu saat nanti masyarakat Dasan Agung bisa total memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW tanpa ada yang melanggar perintah agama. aamiin
anak pra sekolah pun ikut

anak kecil pun ikut bgoyang
yg remaja pun ikut goyang
 foto yang laen bisa dilihat di http://papuqfotografi.blogspot.com/2012/02/foto-mabuk-mabukan-mengiringi-maulid-di.html

 # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # #

Catatan:
* Kelurahan Dasan Agung terdiri dari Lingkungan Gapuk, Pejeruk, Perigi, Bawak Bagik, Otak Desa, Muhajirin, Darul Hikmah, Arong-arong Timur, Arong-arong Barat.
* Yang masih mengadakan pereje tiap maulid adalah Lingkungan Gapuk, Lingkungan Arong-arong Timur dan Otak Desa.
*Biaya yang di keluarkan untuk Mulud:
a.       Biaya menyewa pereje                         = sekitar 750.000,
b.      Biaya sound system, genset dan mobil = 1.500.000
c.       Biaya beli Tuak dll                              =sekitar 500.000
d.      Biaya mulud dirumah                          = 1.750.000
Total yang di keluarkan selama mulud kurang lebih sekitar 4.000.000 (empat juta rupiah)

No comments:

Post a Comment