Kita mengenal banyak tokoh agung dalam sejarah Islam, dengan berbagai aspek
dan tingkat keagungan yang berbeda-beda. Diantara mereka ada yang dari kalangan
ulama dengan beragam spesialisasi dan disiplin ilmu, ada yang dari kalangan
umara (pemimpin), atau mujahidin, atau juru dakwah, atau penulis kitab, atau
ahli ibadah, atau tokoh zuhud adan lain-lain.
Namun yang perlu menjadi bahan perenungan kita adalah, bagaimana keagungan – dengan tingkatan-tingkatannya – itu bisa mereka raih dan dapatkan? Apakah mereka memperolehnya dari faktor keturunan dan warisan, atau karena mereka keturunan darah biru misalnya, sehingga setiap keturunan tokoh agung, atau setiap keturunan darah biru secara otomatis akan menjadi tokoh agung pula? Ternyata fakta kehidupan membantah hal tersebut. Karena betapa banyak keturunan tokoh agung yang sama sekali tidak mengikuti jejak orang tuanya. Atau ada lembaga pendidikan atau sekolahan yang bisa mncetak dan melahirkan calon tokoh-tokoh agung, sehingga siapapun yang menempuh pendidikan di lembaga itu pasti menjadi tokoh agung nantinya? Ternyata inipun tidak benar. Lalu apa faktor yang berada dibalik keagungan tokoh-tokoh agung itu?
Yang jelas bahwa, keagungan seseorang itu adalah taqdir dan karunia Allah Ta’ala. Namun taqdir Allah tidak terjadi secara bim salabim, dan karunia-Nya pun tidak diberikan begitu saja kepada siapa saja. Tapi semuanya sesuai dan berdasarkan ketentuan-ketentuan yang telah Allah tetapkan sendiri dalam kehidupan ini, yang biasa kita kenal dengan sebutan sunnatullah (hukum dan ketentuan Allah yang berlaku di alam kehidupan dunia). Ya. Taqdir Allah terjadi dan ketentuan-Nya berlaku sesuai dengan sunnatullah yang menjadi semacam syarat, meskipun semua tetap saja terserah dan tergantung pada iradah dan masyi-ah (kemauan dan kehendak) Allah yang mutlak!
Nah pertanyaan yang mengemuka sekarang terkait dengan topik kita yang
tersebut diatas adalah: Apa sunnatullah dibalik taqdir dan karunia keagungan
yang diberikan oleh Allah kepada seseorang?
Mungkin ada lebih dari satu sunnatullah dalam hal ini. Tapi yang jelas,
salah satunya yang bisa kita ketahui dan simpulkan dari pengalaman hidup,
perenungan dan pengamatan terhadap biografi serta perjalanan hidup para tokoh
agung, adalah bahwa, keagungan itu didapat dan diperoleh karena mereka memang
memiliki sifat-sifat yang agung dan melakukan hal-hal agung yang tidak dimiliki
dan dilakukan oleh orang kebanyakan. Cobalah anda perhatikan dan renungkan
perjalanan hidup setiap tokoh agung dalam sejarah, maka anda akan mendapatkan
bukti atas kebenaran hal tersebut.
Dan kisah berikut ini bisa menjadi salah satu contoh dan bukti yang
mendukung dan menguatkan fakta tersebut. Kisah kita kali ini adalah tentang
Al-Imam Abu Abdillah Malik bin Anas Al-Ashbuhi rahimahullah (93 H. – 179 H.),
pemilik madzhab Maliki, salah seorang tokoh ulama teragung dalam sejarah Islam,
yang insyaa-Allah akan senantiasa terpatri keagungannya di hati setiap
insan beriman yang tahu atau sekedar mendengar saja tentang beliau,
rahimahullah.
Imam Muhammad bin Sa’ad rahimahullah menuturkan: ”Aku mendengar (Imam) Malik bin Anas (rahimahullah) berkata: ”Ketika (Khalifah) Abu Ja’far Al-Manshur (khalifah kedua dalam Khilafah ’Abbasiyah) berhaji, beliau mengundangku, maka akupun datang menemui beliau dan berbincang-bincang dengan beliau. Beliau bertanya dan aku menjawab, lalu beliau berkata: ”Sungguh aku telah berazam (bertekad) untuk memerintahkan agar kitab yang engkau tulis ini (maksudnya kitab Al-Muwaththa’ karya Imam Malik) ditulis kembali dan digandakan menjadi beberapa nuskhah (eksemplar), kemudian aku kirimkan satu nuskhah ke setiap wilayah diantara wilayah-wilayah kaum muslimin, sekaligus aku instruksikan agar seluruh ummat Islam mengamalkan apa yang termaktub dalam kitab Al-Muwaththa’ ini saja, dan tidak menggunakan yang lain, serta meninggalkan ilmu selainnya yang diada-adakan orang sekarang. Karena aku memandang bahwa, dasar dan inti ilmu adalah riwayat ulama Madinah dan ilmu mereka”. Imam Malik berkata: Aku mengatakan: ”Wahai Amirul Mukminin, jangan lakukan hal itu! Karena semua orang telah lebih dulu menerima beragam pendapat, dan mereka telah mendengar banyak hadits, serta meriwayatkan banyak riwayat. Dan masing-masing kaum telah memilih madzhab yang terlebih dulu sampai kepada mereka, beramal dan beragama berdasarkan madzhab yang mereka pilih diantara perselisihan para sahabat dan imam selain mereka. Sedangkan mengharuskan mereka meninggalkan apa yang telah mereka yakini itu sangat berat. Maka biarkan sajalah mereka tetap pada kondisi mereka, dimana masing-masing wilayah telah memilih madzhab yang sesuai dengan diri dan kecenderungan mereka!” Sang Khalifahpun mengatakan: ”Sungguh seandainya engkau setuju denganku, niscaya akan aku perintahkan dan instrusikan hal itu”. (Al-Intiqaa’ karya Imam Ibnu ’Abdil Barr rahimahullah [wafat: 463 H.], hal. 41).
Nah itulah salah satu rahasia ketokohan dan keagungan Imam Malik
rahimahullah. Sikap yang beliau tunjukkan itu adalah sikap agung yang tidak
dimiliki dan dilakukan kecuali oleh tokoh-tokoh agung seperti beliau.
Rahimahullah Ta’ala.
Maka mari kita raih keagungan dengan sifat-sifat agung yang kita miliki, dengan sikap-sikap agung yang kita tunjukkan, dan dengan amal-amal agung yang kita hadirkan. Sementara itu, jangan pernah bermimpi untuk menjadi agung dan besar, jika kita masih bersifat seperti sifat orang kebanyakan, masih bersikap seperti sikap orang kebanyakan, dan hanya beramal seperti amal orang kebanyakan!
Maka mari kita raih keagungan dengan sifat-sifat agung yang kita miliki, dengan sikap-sikap agung yang kita tunjukkan, dan dengan amal-amal agung yang kita hadirkan. Sementara itu, jangan pernah bermimpi untuk menjadi agung dan besar, jika kita masih bersifat seperti sifat orang kebanyakan, masih bersikap seperti sikap orang kebanyakan, dan hanya beramal seperti amal orang kebanyakan!
Oleh: Ahmad Mudzoffar Jufri, MA
http://inspirasiislami.com
No comments:
Post a Comment